Femina Foodlovers Blog Competition 2013



Hi guys, I’m joining a competition from Femina Magazine, so for this post only, I will write on Bahasa Indonesia. Hope you didn’t mind and wish me luck ok! ;D

 

Street food atau ‘makanan pinggiran’ selalu ada tempat tersendiri di hati saya. Tumbuh besar di kota Jakarta dimana berbagai pendatang dari daerah-daerah memberikan pengaruhnya tersendiri, sungguh melatih lidah saya untuk menyukai keragaman kuliner Indonesia. Asin, manis, pedas, asam, berkuah, dibakar, semuanya ada. 

Bisa dibilang makanan- makanan pinggiran inilah yang selalu menjadi kebanggaan saya ketika berbicara dengan teman- teman dari negara lain. Apakah yang membuatnya berbeda? Saya bisa menjawab ……. sensasinya! Sensasi makan dipinggir jalan, ditemani polusi udara yang tidak terkira. Sensasi kepanasan dan keringatan, karena hanya menggunakan ‘AC alami’. Sensasi antara makan duduk tanpa meja ataupun tidak duduk sama sekali ( oh yeah! ). Sensasi perut kenyang, padahal uang yang dikeluarkan hanya Rp.10.000 ( plus es teh  :p ). Adakah yang bisa menandingi sensasi seperti yang disebutkan diatas?? Saya rasa tidak ada :D

Dengan beragamnya rasa dan jenis masakan yang ada di seluruh Indonesia, rasanya tidak cukup waktu untuk bisa merasakan semuanya. Jujur, keliling seluruh Indonesia dan mencicipi semua masakannya, masih ada di ‘bucket-list’ saya. Karena masing – masing daerah mempunyai ciri khasnya sendiri, bahkan kadang ,jenis satu masakan yang sama bisa menjadi suatu masakan yang berbeda di masing-masing kota. Contohnya, Soto. Soto Madura berbeda dengan Soto Betawi, Soto Betawipun berbeda dari Soto Lamongan, Soto Lamonganpun  beda dengan Soto Kudus. Soto Kudus pun berbeda dari Soto Padang. Soto Padang pun berbeda dari Soto Medan.

Dari nama- nama soto tersebut diatas, tahukah kalian perbedaannya masing- masing? Saya yakin tidak semua orang mengetahui betul perbedaannya masing- masing, sayapun juga begitu awalnya. Banyak kalangan muda sekarang lebih berminat kepada makanan- makanan berbau barat, dibanding makanan negeri sendiri. Lebih pilih pizza daripada makan gado- gado, lebih pilih burger daripada makan sate.  Kalau perilaku seperti ini diteruskan, akan berbahaya pastinya dikemudian hari. Warisan kuliner yang sudah turun temurun dapat saja hilang atau bisa – bisa diambil lisensinya oleh negara sebelah ( oops !).
Soto Kuning Bogor

Seberapa banyak dari kita mengetahui apa itu Tengkleng? Atau Kapurung?  Atau Sego Kucing ? Kadang kalau saya pergi makan sama teman- teman dan memesan Tinutuan ( Bubur Manado ) yang suka ada di food court mall, masih ada saja yang terheran dan menanyakan, “ itu apa?” Yah mau bagaimana lagi, kita hidup di masyarakat yang punya pola pikir, budaya luar tuh lebih keren, budaya sendiri mah ‘tidak asik/ gaul’. “Mana keren malem mingguan nongkrong diwarung pinggir jalan?”, mungkin itu yang ada di benak kita masing-masing.
Tengkleng Solo
Sate Padang

 Sewaktu ada kesempatan tinggal selama 1 bulan di luar negri, saya jadi menyadari bahwa tidak ada yang dapat menandingi kuliner negri sendiri. Dengan keseharian makan steak, keju, salad, membuat lidah saya bosan dengan rasa yang itu- itu saja. Rata- rata hanya asin, gurih atau manis. Beda dengan jajanan atau makanan yang ada di Indonesia, pagi saya bisa makan makanan yang asin gurih, siang saya bisa makan yang pedas, malam saya bisa makan sesuatu yang manis, keberagaman dan variasi inilah yang membuatnya saya selalu rindu.

Kalau ditanya apa makanan favorit saya ? Saya akan jawab, Bakso! Haha… Saya selalu suka makanan- makanan yang berkuah, maka dari itulah bakso adalah makanan favorit saya. Kalau lagi hujan, pengennya makan bakso, kalau lagi pilek pengennya makan bakso, kalau lagi tidak mau makan berat, pengennya makan bakso juga. Perpaduan panasnya kuah bening namun gurih dengan tekstur bakso yang kenyal, belum lagi ditambah sambal yang pedas dan juga… cuka ( personal preference ), selalu bikin nagih. Dari Bakso Solo,  Bakso Malang, ataupun Bakso Singkawang, bisa jadi saya santap minimal 1kali seminggu. 

Seperti contoh yang sudah saya sebutkan diatas, saya juga penggemar berat Soto. Soto Ayam Ambengan dan Lamongan adalah favorit saya. Gurihnya bumbu koya selalu menambah sensasinya tersendiri. Saya punya satu tempat langganan makan soto, yang setiap kesana saya boleh dengan bebas menambah koyanya. Heaven ! Membicarakan makanan pinggiran juga tidak lepas dari seafood pinggir jalan. Kebetulan didekat rumah ada sebuah tempat seafood yang terkenal, yang rasanya kita sudah pesan berbagai menu sampai kenyang, pada akhirnya kita hanya membayar Rp30.000/orang. Sungguh sebuah hal yang patut disyukuri apabila tinggal di Indonesia :p
Sop Kambing

Pada akhirnya satu hal yang menjadi perhatian adalah masalah kebersihan atau kesehatan. Saya suka dengan celetukan seorang teman yang masih saya suka pakai sampai sekarang “Gembel aja engga mati”. Haha… Kalau yang tidak mengerti, maksudnya adalah para pemungut atau yang tidak mampu saja tidak apa-apa ketika makan makanan yang kotor, apalagi kita? :p Kadang kalau makan makanan pinggiran, kita hanya bisa menutup mata ( “jangan lihat dapurnya “) dan pastinya membaca doa sebelum makan, jangan sampai perut menjadi sakit sehabis makan makanan tersebut. 

Banyaknya oknum-oknum yang mencemari kuliner kita dengan memakai bahan- bahan kimia berbahaya hanya demi keuntungan pribadi, juga sangat mengkhawatirkan. Yah seperti halnya pemakaian boraks pada daging bakso atau pemakaian pewarna pakaian pada makanan, hal – hal tersebut lah yang bisa membunuh kuliner dan juga penduduk kita secara perlahan-lahan. Sangat memprihatinkan. Tetapi apa daya apabila masyarakat kita ini belum teredukasi dengan baik, dan sekali lagi tidak ada wadah bagi para- para pedagang makanan ini.

Saya masih suka merindukan bebek goreng yang waktu dulu dijual oleh seorang bapak di jalan Gardujati, Bandung. Sayang sekali karena sang bapak sudah dipanggil yang di Atas, tidak ada yang meneruskan resep yang dia punya. Inilah permasalahan yang juga sering kali timbul di hasanah kuliner kita. Keterbatasan modal, tenaga maupun ilmu manajemen yang baik seringkali membunuh para pedagang –pedagang ini, padahal mereka adalah ujung tombak kuliner kita.
Nasi Kalong

Pada akhirnya kita hanya bisa berharap pada pemerintah untuk lebih lagi memperhatikan warisan kuliner nusantara berikut para pedagangnya. Agar kemudian hari kita bisa mencapai kualitas dan mutu yang baik disetiap makanan kita, sehingga suatu hari kuliner Indonesia-pun bisa lebih lagi dikenal masyarakat dunia. Dan kita sebagai warga, apakah yang bisa kita lakukan? Dengan lebih mencintai dan mengapresiasi  berbagai macam makanan Indonesia, dan tidak malu untuk menunjukkannya pada dunia  ( lewat social media contohnya ), saya rasa sedikit banyak dapat membantu menjaga warisan kuliner negri ini. Last words, Aku Cinta Masakan Indonesia! setuju ? :D


3 comments:

  1. Yay to Indonesian (street) food!
    Good luck, Nat! :)

    ReplyDelete
  2. Orang Indonesia itu sukanya yang 'medhok-medhok', makanya kadang bosenan sama masakan luar yang almost plain rasanya ya..
    aduh..itu nasi kalong kok kayanya enak..daku belum pernah coba :))
    anyway, good luck ya Tasha ^^

    ReplyDelete
  3. ou’re so talented and generous of these talents

    ReplyDelete

 

Facebook Page

Twitter Updates

Meet The Author

Hi ! My name is Natasha. V. Lucas, based in Jakarta, Indonesia. What I do : Food Stylist | Food Photographer | F&B Consultant | Culinary TV Host | Social Media Managing For any inquiries you can email me to natashavlucas@gmail.com